Garuda yang tidak bisa terbang: review “Garuda Riders”, A.R. Wirawan

Garuda Riders adalah novel fantasi remaja dari Indonesia. Novel ini ditulis oleh A.R. Wirawan yang, menurut biografi singkat di akhir buku, merupakan dosen akuntansi. Well, that is cool. Selamat buat Mas Wirawan atas terbitnya buku ini, all the power for your next sequel.

Garuda Riders bercerita tentang perjalanan Naradja saat dia berguru bagaimana terbang bersama Garuda. Di semesta hasil imajinasi Wirawan, Garuda adalah hewan terbang yang hidup bersama-sama makhluk mitologis lainnya seperti naga, titisan dewa, maupun kelelawar raksasa. Oh ya, Naradja yang menjadi protagonis adalah keturunan campuran dari ras asura (e.g: Rahwana), wanara (e.g: Hanoman), dan mannusa (e.g: Rama)

Idenya menarik. Dan ide itulah yang pada awalnya membisiki saya untuk membeli buku seharga Rp 60.000-belum-termasuk-diskon-serta-promo-lainnya ini. Pada awalnya saya cukup semangat untuk memulai membaca. Karena terlepas dari mimpi buruk serial fantasi Indosiar, Indonesia memiliki kekayaan tradisi luar biasa yang dapat digali tujuh turunan sebagai sumber inspirasi kisah-kisah fantastis. Selama ini, biasanya kisah-kisah yang ada dijadikan inspirasi untuk cerita-cerita silat yang walaupun bisa sangat menarik tapi sudah terlalu sering diproduksi. Karena itu, cerita yang tidak saklek tentang silat sungguh menggoda untuk dibaca.

Garuda Riders berusaha mengisi vakum itu dengan menuliskan dunia yang, sepanjang pengetahuan saya, sepenuhnya baru. Di dunia ini, era Ramayana berlanjut dengan berdirinya beberapa republik menggantikan sistem kerajaan lama. Beberapa republik ternyata memiliki angkatan udara yang menggunakan Garuda sebagai jagoannya. Bersama penunggang-penunggang terlatih, para Garuda ini penting karena… euh… karena… suatu.. suatu hal? Yah, penulis memang tidak membahas aspek militernya. Bagaimanapun, Garuda di dalam novel ini menempati posisi seperti naga dalam salah satu tradisi literatur fantasi barat—Eragon, Temeraire—dengan kecerdasan dan karakter unik pada tiap-tiap Garuda.

Sayangnya, aspek ini luput dikelola oleh penulis. Garuda tunggangan Naradja memang memiliki nama, karakteristik fisik, dan dapat berbicara. Tapi dia terkesan seperti figuran. Padahal Garuda ini menduduki peran penting dalam perkembangan plot, dan bukan hanya sebagai karakter yang ada pada judul, tapi benar-benar sebagai karakter yang jika tidak ada maka alur novel ini akan kehilangan perekatnya. Saat si Garuda memilih untuk melakukan sesuatu, saya merasa seakan itu adalah keputusan acak tanpa alasan khusus.

Permasalahan karakter ini juga dialami oleh karakter lain, termasuk Naradja sendiri. Perkembangan karakternya terasa lemah dan tidak efektif. Hal ini mungkin disebabkan oleh alur penceritaan yang begitu singkat dengan jumlah plot yang lumayan banyak. Akibatnya, selain beberapa bagian yang terasa bergerak dengan sporadis, karakter-karakter juga kehilangan kesempatan untuk mendapatkan jiwa mereka. Apalagi dialog yang ada terlalu terbatas untuk membantu pengembangan karakter.

Ini sangat, sangat mengecewakan.

Pada akhirnya,  petualangan yang dilalui Naradja saya lalui tanpa ada perasaan khusus. Buku ini memiliki potensi, tapi dalam eksekusi kisahnya tersandung dan maju terseok-seok sebelum berakhir dengan tiba-tiba dan tidak memuaskan.  It wasn’t a good ride.

Untuk kesimpulan:

Terekomendasi? Tidak.

Kalau mau tetap beli? Ya.. terserah.

Ada buku bagus sejenis? Ada, kisah-kisah wayang pra-Islam.

Ada buku bagus tidak sejenis? Ada, banyak.

Ada buku tidak bagus dan tidak sejenis? …